Skip to main content
SearchLoginLogin or Signup

Moderasi Beragama, dan Gagasan Toleransi Beragama dari Komunitas Gusdurian, di Kalangan Generasi Muda Kota Makassar

Indonesia Science Day in the 77th United Nations General Assembly 13-27 September 2022. The Indonesia Science Day will be held on Sept 16th, 2022. Image from wikimedia https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Random_Select_Career_Change_Cartoon.svg

Published onJul 13, 2022
Moderasi Beragama, dan Gagasan Toleransi Beragama dari Komunitas Gusdurian, di Kalangan Generasi Muda Kota Makassar
·

Indonesian

Penelitian ini membahas tentang eksistensi Komunitas Gusdurian dan penyebaran gagasan tentang toleransi di Kota Makassar. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu bentuk-bentuk gagasan toleransi komunitas Gusdurian.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis melakukan serangkaian penelitian kualitatif dengan metode sosiologis. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan, serta ditunjang dengan kajian terhadap literatur yang relevan. Data tersebut diolah dan dianalisis dengan teknik reduksi data, verifikasi data hingga penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Komunitas Gusdurian lahir sebagai bentuk upaya menyebarkan ajaran-ajaran Gus Dur oleh para pengagum Gus Dur pasca satu tahun wafatnya. Kehadiran Komunitas Gusdurian di Makassar diawali dengan diskusi-diskusi di pondokan mahasiswa. Komunitas ini kemudian mulai terorganisir sejak aktivis NU yaitu Syamsurijal Adhan dan Saprillah Sahrir menawarkan diskusi rutin di Sekretariat PMII dengan tema yang berkaitan dengan Gus Dur.

Dengan dukungan sejumlah tokoh agama, budaya dan akademisi maka pada tanggal 26 Februari 2013 Gusdurian di Makassar resmi dibentuk. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bentuk toleransi dalam komunitas Gusdurian berpedoman pada Sembilan Nilai Utama Gus Dur. Peran komunitas Gusdurian dapat dilihat melalui aktivitasnya dalam banyak sisi seperti; forum kajian, kampanye perdamaian dan advokasi, gerakan literasi dan gerakan filantropi.

Gusdurian didukung oleh sosok Gus Dur yang populer, geliat gerakan lintas iman yang sedang berkembang dan kearifan lokal sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge. Sedangkan faktor penghambatnya prasangka kepada Gusdurian yang dianggap tertutup, serta berkembangnya paham radikalisme dan keanggotaan yang sifatnya fluktuatif serta belum adanya sekretariat yang permanen bagi komunitas ini.

Kata Kunci: Gusdurian, Toleransi Beragama, Generasi Muda

English

This study discusses the existence of the Gusdurian Community and the spread of ideas about tolerance in Makassar City. The formulation of the problem discussed in this study is the forms of the Gusdurian community's tolerance ideas.

To answer these problems, the author conducted a series of qualitative research with sociological methods. Data collection in this study was obtained by in-depth interviews and direct observation in the field, and supported by a study of the relevant literature. The data is processed and analyzed by data reduction techniques, data verification to drawing conclusions.

The results of this study indicate that the Gusdurian Community was born as an effort to spread Gus Dur's teachings by Gus Dur's admirers after one year of his death. The presence of the Gusdurian Community in Makassar began with discussions at student lodges. This community was then organized when NU activists Syamsurijal Adhan and Saprillah Sahrir offered regular discussions at the PMII Secretariat with themes related to Gus Dur.

With the support of a number of religious, cultural and academic leaders, on 26 February 2013 Gusdurian in Makassar was officially formed. This study concludes that the form of tolerance in the Gusdurian community is guided by the Nine Main Values ​​of Gus Dur. The role of the Gusdurian community can be seen through its activities in many ways, such as; study forums, peace campaigns and advocacy, literacy movements and philanthropic movements.

Gusdurian is supported by the popular figure of Gus Dur, the growing interfaith movement and the local wisdom of sipakatau, sipakalebbi and sikapale. Meanwhile, the inhibiting factors are prejudice against Gusdurian who is considered closed, as well as the development of radicalism and membership that is volatile in nature and the absence of a permanent secretariat for this community.

Keywords: Gusdurian, Religious Tolerance, Young Generation

Comments
0
comment
No comments here
Why not start the discussion?